Translate

Rabu, 15 Maret 2017

KISAH INSPIRATIF - Elegy Of Los Felidas


DasadarmaTrisatya.Blogspot.Com - Kisah Inspirasi Seorang Ibu

ELEGY OF LOS FELIDAS

Sebuah kisah inspiratif perjuangan kesabaran dan ketabahan seorang ibu
dikutip dari buku : Surga Masih DI Telapak Kaki Ibu
Karya :  Safira Atalla


"Kesabaran selalu berbuah hasil yang baik. Ketabahan juga senaniasa akan memberi sebuah kebahagiaan. Penantian tabah tiada akhir akan berbuah manis meski hanya sekian detik terasa. Doa yang tulus karena sebongkah cinta yang pernah akan terkabul karena munajatnya kepada Tuhan benar-benar ikhlas. Doa ibu sepanjang jalan kehidupan."

            Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah Negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh di seluruh kota.
            Ada sebuah kisah cinta kasih ibu dan anak yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil.
            Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampong halamannya.
            Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka.
            Dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeser pun uang ada di kantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun.
            Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya. Dan akhirnya tiba disebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

            Saat itu angin desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dinign. Ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami berkata, “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apa pun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur di sini.”
            Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali. Tak seorang pun yang tahu pasti ke mana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
            Selama beberapa hari berikutnya sang Ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.
            Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan.
            Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahanya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hamper 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita.
            Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.
            Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak ke mana-mana, tidak ikut siapa pun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.
            Yang jelas dia ingin, bahwa gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapa pun selama ibunya tidak di tempat.
            “Dalam beberapa hari Mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita.” Ucap sang Ibu.
            Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya.
            Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, dimana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
            Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh.
            Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.
            Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.
            Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya , menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota.
            Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya yang tidak pernah bias punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.
            Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan rumah megah nan mewah seperti istana itulah gadis kecil itu tumbuh dan berkembang menjadi wanita dewasa.
            Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke mana pun ia pergi.
            Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.
            Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, dan dia sedang menyelesaikan gelar dokternya.
            Ia adalah figure gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.
            Setahun setelah perkawinan mereka ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real­-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu.
            Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu.
            Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya, ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri.
            Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.
            Sesuatu di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengonsentrasikan pandangannnya pada telinga kiri itu.
            Kemudian ia membuka lemarinya sendiri dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya , dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi.
            Tapi diantara benda-benda mewah itu sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya.
            Serrafona menaruh anting-anting itu di dekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang.
            Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum pernah dilihatnya sama sekali.
            Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya : kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.
            Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada.
            Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya, tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.
            Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca Koran.
            “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkin Ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”
            Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafona. Foto hitam putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar keseluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri.
            Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafona mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.
            Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apa pun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertiain, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka.

            Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekadar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberi tahu suaminya keyakinan itu berkali-kai, dan suaminya mengangguk-ngangguk penuh pengertian.
            Saat itu waktu sudah memasuki masa Natal. Seluruh negeri bersiap untuk menyambut perayaan tersebut, dan bahkan untuk kasus Serrafona pun, orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon-pohon terang mulai menyala di sana-sini, mendengar lagu-lagu natal mulai dimainkan di tempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.
            Pagi, diang, dan sore ia berdoa.
            “Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan natal, tapi izinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya ‘Temukan saya dengan ibu saya’”
            Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separuh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil di tepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi di luar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan di mana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya.
            Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafona diculik. Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur.
            Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.
            Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staf mereka.
            “Tuhan Maha Kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan Mengizinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”
            Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, di pinggiran kota yang kumuh dan banyak angin.
            Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main di tepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi ke jalanan yang lebih kecil. Kemudian masih belok lagi ke jalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.
            Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah bias mendengar panggilan itu.
            “Lekas,  Serrafona, Mama menunggumu sayang”
            Ia mulai berdoa, “Tuhan beri saya setahun untuk melayani Mama. Saya akan melakukan apa saja demi membalas semua jasanya, menebus cintanya.”
            Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa, “Tuhan beri saya sebulan saja”.
            Mobil belok lagi ke jalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka.
            Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis, “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan”.
            Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat.
            Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung.
            Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik dan di tengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak pernah bergerak-gerak.
            Mobil mereka berhenti di antara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
            “Belum bergerak dari tadi”
            Lapor salah seorang staff-nya
            Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
            “Serrafona, kemari cepat ! Ibumu masih hodup, tapi kau harus menguatkan dirimu.”
            Serrafona memandang tembok di hadapannnya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalan yang busuk, semua yang dialaminya saat itu mengingatkannya pada masa kecilnya.
            Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
            “Tuhan…..”
            Ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “Beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan Mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan sayan.”
           


            Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke dadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang sekeliling ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan parlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda dulu. Wajahnya datar, tanpa ekspresi.
            “Mama…”
            Ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam antara waras dan tidak. Dan tiap hari antara sadar dan tidak, kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa peduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.
            “Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu, Apa pun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apa pun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu…… mama….”
            Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan, “ Tuhan Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan….. satu jam saja…….. satu jam saja……….”
            Tapi dada yang didengarnya hanya sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.


                       
           Kata kunci : Kisah Inspiratif, perjuangan ibu dan anak, kisah motivasi, cerita inspirasi, ibu dan anak, surga masih di telapak kaki ibu,



pongimaji Manusia Biasa

MUSLIM.seorang Pramukawan berdarah Indonesia ASLI. Berusaha menyampaikan ilmu melalui tulisan yang sederhana. . Apabila saya salah mohon saya diluruskan. . Karena kritikan dan masukan dari kawan-kawan sangat berarti untuk membangun diri saya. . Berbagi itu Indah. . .

1 komentar: