ELEGY OF LOS FELIDAS
Sebuah kisah inspiratif perjuangan kesabaran dan ketabahan seorang ibu
dikutip dari buku : Surga Masih DI Telapak Kaki Ibu
Karya : Safira Atalla
"Kesabaran selalu berbuah hasil yang baik. Ketabahan juga senaniasa akan memberi sebuah kebahagiaan. Penantian tabah tiada akhir akan berbuah manis meski hanya sekian detik terasa. Doa yang tulus karena sebongkah cinta yang pernah akan terkabul karena munajatnya kepada Tuhan benar-benar ikhlas. Doa ibu sepanjang jalan kehidupan."
Los Felidas adalah nama sebuah jalan
di ibu kota sebuah Negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh
di seluruh kota.
Ada sebuah kisah cinta kasih ibu dan
anak yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari
kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil.
Tidak
seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa
lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh
suaminya dari kampong halamannya.
Seperti
kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat
untuk mereka.
Dan belum setahun mereka di kota itu,
mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka
tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeser pun uang ada di
kantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun.
Dalam keadaan panik dan putus asa,
mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya. Dan akhirnya tiba disebuah
jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat
untuk berteduh.
Saat itu angin desember bertiup
kencang, membawa titik-titik air yang dinign. Ketika mereka beristirahat di
bawah atap toko itu, sang suami berkata, “Saya harus meninggalkan kalian
sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apa pun, kalau tidak malam nanti
kita akan tidur di sini.”
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan
ia tidak pernah kembali. Tak seorang pun yang tahu pasti ke mana pria itu
pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke
Afrika.
Selama beberapa hari berikutnya sang
Ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan
toko itu.
Pada hari ketiga, ketika mereka sudah
kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan
jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan.
Pada suatu hari, tergerak oleh
semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan
memutuskan untuk bekerja. Masalahanya adalah di mana ia harus menitipkan
anaknya, yang kini sudah hamper 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita.
Tampaknya tidak ada jalan lain
kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib tidak memperburuk
keadaan mereka.
Suatu pagi ia berpesan pada anak
gadisnya, agar ia tidak ke mana-mana, tidak ikut siapa pun yang mengajaknya
pergi atau menawarkan gula-gula.
Yang jelas dia ingin, bahwa gadis
kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapa pun selama ibunya tidak di
tempat.
“Dalam beberapa hari Mama akan
mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak
lagi tidur dengan angin di rambut kita.” Ucap sang Ibu.
Gadis itu mematuhi pesan ibunya
dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka
tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong dan membaringkan anaknya dengan
hati-hati di dalamnya.
Di sebelahnya ia meletakkan sepotong
roti, kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, dimana ia
bekerja sebagai pemotong kulit.
Begitulah kehidupan mereka selama
beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk
menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh.
Dengan suka cita ia menuju ke
penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.
Tapi siang itu juga sepasang suami
istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa,
dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.
Di situ mereka mendandani gadis cilik
itu dengan baju baru, membedaki wajahnya , menyisir rambutnya dan membawanya ke
sebuah rumah mewah di pusat kota.
Di situ gadis cilik itu dijual.
Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya yang tidak pernah bias punya
anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.
Mereka memberi nama anak gadis itu
Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah
kemewahan rumah megah nan mewah seperti istana itulah gadis kecil itu tumbuh
dan berkembang menjadi wanita dewasa.
Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang
terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia
bergabung dengan kalangan-kalangan atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke mana
pun ia pergi.
Satu hal yang baru terjadi menyusul
hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.
Pada umurnya yang ke-24, Serrafona
dikenal sebagai anak gadis gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain
piano, dan dia sedang menyelesaikan gelar dokternya.
Ia adalah figure gadis yang menjadi
impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas
asih, yang bernama Geraldo.
Setahun setelah perkawinan mereka
ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan
sebuah real-estate sebesar 14 hektar
yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu.
Menjelang hari ulang tahunnya yang
ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu.
Pagi itu Serrafona sedang
membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan
di laci meja kerja ayahnya, ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang
digendong sepasang suami istri.
Selimut yang dipakai untuk
menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena
walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.
Sesuatu di telinga kiri bayi itu
membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengonsentrasikan
pandangannnya pada telinga kiri itu.
Kemudian ia membuka lemarinya sendiri
dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah
itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya , dari kalung-kalung berlian
hingga surat-surat pribadi.
Tapi diantara benda-benda mewah itu
sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat
sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu
sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu
anting-anting di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya.
Serrafona menaruh anting-anting itu
di dekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan
perlahan-lahan air matanya berlinang.
Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa
bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya,
yang tersenyum dibuat-buat, belum pernah dilihatnya sama sekali.
Foto itu seolah membuka pintu
lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya,
misalnya : kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya,
kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.
Saat itulah, sepotong ingatan yang
sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita
membelai kepalanya dan mendekapnya di dada.
Di ruangan itu mendadak Serrafona
merasakan betapa dinginnya sekelilingnya, tetapi ia juga merasa betapa
hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia
seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih
baik mereka mati bersama.
Matanya basah ketika ia keluar dari
kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca Koran.
“Geraldo, saya adalah anak seorang
pengemis, dan mungkin Ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”
Itu adalah awal dari kegiatan baru
mereka mencari masa lalu Serrafona. Foto hitam putih yang kabur itu diperbanyak
puluhan ribu lembar dan disebar keseluruh jaringan kepolisian di seluruh
negeri.
Sebagai anak satu-satunya dari bekas
pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafona mendapatkan dukungan dari
seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia
membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang
jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang
wanita.
Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada
perkembangan apa pun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25
tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah.
Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu
penuh pengertiain, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka.
Kini, tiap kali bermobil, mereka
sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekadar untuk lebih akrab dengan nasib
baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak
terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu,
entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia
memberi tahu suaminya keyakinan itu berkali-kai, dan suaminya
mengangguk-ngangguk penuh pengertian.
Saat itu waktu sudah memasuki masa
Natal. Seluruh negeri bersiap untuk menyambut perayaan tersebut, dan bahkan
untuk kasus Serrafona pun, orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat
pohon-pohon terang mulai menyala di sana-sini, mendengar lagu-lagu natal mulai
dimainkan di tempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.
Pagi, diang, dan sore ia berdoa.
“Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan
natal, tapi izinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya
‘Temukan saya dengan ibu saya’”
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu
sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu
mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu mereka terbang ke tempat itu,
sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali
melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separuh buta itu, yang kini terbaring
sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu
mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang bahwa ia memang pernah mencuri
seorang gadis kecil di tepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak
yang diingatnya, tapi di luar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan
di mana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya.
Serrafona memberi anak perempuan yang
menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota
dimana Serrafona diculik. Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan
orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa
tidur.
Untuk kesekian kalinya ia
bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan
sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari
ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staf
mereka.
“Tuhan Maha Kasih, Nyonya, kalau
memang Tuhan Mengizinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat
sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan
yang sepi, di pinggiran kota yang kumuh dan banyak angin.
Rumah-rumah di sepanjang jalan itu
tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main di tepi jalan.
Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi ke jalanan yang lebih kecil. Kemudian
masih belok lagi ke jalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama
mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.
Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah
bias mendengar panggilan itu.
“Lekas, Serrafona, Mama menunggumu sayang”
Ia mulai berdoa, “Tuhan beri saya
setahun untuk melayani Mama. Saya akan melakukan apa saja demi membalas semua
jasanya, menebus cintanya.”
Ketika mobil berbelok memasuki jalan
yang lebih kecil dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa,
“Tuhan beri saya sebulan saja”.
Mobil belok lagi ke jalanan yang
lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah
jendela mobil yang terbuka.
Ia mendengar lagi panggilan mamanya,
dan ia mulai menangis, “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami
seminggu untuk saling memanjakan”.
Ketika mereka masuk belokan terakhir,
tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat.
Jalan itu bernama Los Felidas.
Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi,
dari ujung ke ujung.
Di tengah-tengah jalan itu, di depan
puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik dan
di tengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam
jelaga, tidak pernah bergerak-gerak.
Mobil mereka berhenti di antara 4
mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans
berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul
pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
“Belum bergerak dari tadi”
Lapor salah seorang staff-nya
Pandangan Serrafona gelap tapi ia
menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap
sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
“Serrafona, kemari cepat ! Ibumu
masih hodup, tapi kau harus menguatkan dirimu.”
Serrafona memandang tembok di
hadapannnya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang
lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalan
yang busuk, semua yang dialaminya saat itu mengingatkannya pada masa kecilnya.
Air matanya mengalir keluar ketika ia
melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan
memberinya isyarat untuk mendekat.
“Tuhan…..”
Ia meminta dengan seluruh jiwa
raganya, “Beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan Mama mendekap saya
dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama
tidak menyia-nyiakan sayan.”
Ia berlutut dan meraih kepala wanita
itu ke dadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang
sekeliling ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan parlente, ke arah
mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti
wajahnya sendiri ketika ia masih muda dulu. Wajahnya datar, tanpa ekspresi.
“Mama…”
Ia mendengar suara itu, dan ia tahu
bahwa apa yang ditunggunya tiap malam antara waras dan tidak. Dan tiap hari
antara sadar dan tidak, kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan
seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka
genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.
Serrafona mengangguk, dan tanpa peduli sekelilingnya ia berbaring di atas
jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.
“Mama, saya tinggal di istana dan
makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu, Apa pun yang mama mau bisa kita
lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apa pun
bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu…… mama….”
Ketika telinganya menangkap detak
jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan, “ Tuhan Maha Pengasih dan
Pemberi, Tuhan….. satu jam saja…….. satu jam saja……….”
Tapi dada yang didengarnya hanya
sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang
menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.
Kata kunci : Kisah Inspiratif, perjuangan ibu dan anak, kisah motivasi, cerita inspirasi, ibu dan anak, surga masih di telapak kaki ibu,
👍🏻
BalasHapus