IBU SENANTIASA MAU BERKORBAN
'Sumber : Surga masih di telapak kaki ibu - Safira Atalla'
“Lewat ibulah kita lahir di dunia. Tuhan menitipkan kita ke rahimnya
untuk dilahirkan dan dirawatnya dengan sepenuh cinta. Cintanya putih, hidupnya
hanya untuk anaknya, demi menjalankan amanah-Nya, dititipi seorang anak. Tetapi
kita sering melupakannya, mengecilkan keberadaannya, menganggapnya tidak ada”
Ibuku
hanya memiliki satu kaki dan satu mata. Aku sangat membencinya. Aku sangat malu
dengan keadaan fisiknya. Ia menjadi juru masak di rumah tetanggaku dan
berjualan kue di sekolahku, untuk membiayai keluarga.
Suatu
hari ketika aku masih SD, ibuku datang, aku sangat malu. Mengapa ia lakukan
ini? Aku memandangya dengan penuh kebencian dan melarikan diri. Ibuku terdiam
dan hanya memandangku dengan wajah tanpa dosa.
Keesokan
harinya di sekolah, aku diejek teman-temanku.
“Ibumu
hanya punya satu kaki dan satu mata ?!?! Hiiii Takuuuutt !”
Aku
berharap ibuku lenyap dari muka bumi. Ujarku pada ibu, “Bu, mengapa ibu tidak
punya satu kaki dan satu mata lainnya? Kalau Ibu hanya ingin membuatku
ditertawakan, lebih baik ibu mati saja!!!”.
Ibuku
tidak menyahut. Aku merasa agak tidak enak, tapi pada saat yang bersamaan, lega
rasanya sudah mengungkapkan apa yang ingin sekali kukatakan selama ini. Mungkin
karena ibu tidak menghukumku, tapi aku tak berpikir sama sekali bahwa
perasaannya sangat terluka karenaku.
Malam
itu aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku sedang
menangis, tanpa suara, seakan-akan ia takut aku akan terbangun karenanya. Ia
memandangku sejenak, dan kemudian berlalu dengan kaki pincangnya. Akibar
perkataanku tadi, hatinya tertusuk. Walaupun begitu, aku masih sangat membenci
ibuku yang sedang menangis dengan satu kaki dan matanya itu. Lalu aku tak mau
lemah, berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan tumbuh dewasa dan menjadi
orang yang sukses kelak.
Kemudian
aku belajar dengan tekun, ibuku terus
bekerja membelikanku baju, buku sekolah, membayar uang sekolah. Dan akhirnya
aku lulus, lalu mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi. Kutinggalkan ibuku
dan pergi ke ibu kota untuk menuntut ilmu.
Lalu
aku pun lulus dengan nilai baik dan mendapat pekerjaan yang sangat baik pula.
Kemudian aku menikah. Aku membeli rumah. Kemudian aku pun memiliki anak. Hingga
aku hidup dengan bahagia sebagai seorang yang sukses. Aku menyukai tempat
tinggalku karena tidak membuatku teringat akan ibuku. Aku sangat malu dan
kecewa jika ingat masa kecilku.
Kebahagiaan
ini bertambah terus dan terus. Hingga satu saat ibuku dating ke rumahku,
terlihat kepanasan di wajahnya, berkeringat dan terengah-engah dengan kaki dan
mata satunya. Seakan-akan langit runtuh menimpaku. Bahkan anak-anakku berlalri
ketakutan, ngeri melihat bentuk ibuku yang tidak normal dan tidak karu-karuan.
Kataku
lantang sok tidak kenal, “Siapa kamu?! Aku tidak kenal dirimu! Berani-beraninya
kamu datang ke sini dan menakuti anak-anakku! Keluar kamu dari sini! Pergi !”.
Ibuku
hanya menjawab perlahan, “Ohh, maaf. Sepertinya saya salah alamat.”
Dan
ia pun berlalu dengan tongkat kayu tua kakinya. Untung saja ia sepertinya rela
tidak mengenalku. Aku sungguh lega. Aku tidak peduli lagi, aku pun menjadi
lega.
Suatu
hari, sepucuk surat undangan reuni sekolah tiba di rumahku. Aku berbohong pada
istriku bahwa aku ada urusan kantor. Aku pun pergi ke sana. Setelah reuni, aku
mampir ke gubuk tua, yang dulu aku sebut rumah, rumahku. Hanya sekedar ingin
tahu saja.
Rumah
reyot yang hamper rubuh itu sangat sepi. Lalu aku masuk ke dalam rumah
berlantai tanah itu. Di sana, kutemukan ibuku tergeletak di lantai yang dingin.
Namun aku tetap dengan angkuhnya tak meneteskan air mata sedikit pun. Ada
selembar kertas di tangannya.
Sepucuk
surat untukku.
Anakku.
Kurasa hidupku sudah cukup panjang. Dan aku tidak akan pergi ke rumahmu
lagi. Namun apakah berlebihan jika aku ingin kau menjengukku sekali?
Aku sangat merindukanmu, dan aku sangat gembira ketika mendengar kau akan
datang ke reuni itu. Tapi kuputuskan aku tidak pergi ke sekolah. Aku takut kamu
akan malu dan marah lagi.
Demikian, aku menahan diri untuk tidak menemuimu, berusaha membunuh
rinduku padamu. Dan aku minta maaf karena selama ini hanya membuatmu malu
dengan keadaan cacat fisikku.
Kau tahu, ketika kau masih dalam kandungan ibu mengalami kecelakaan.
Ketika ibu masih hamil, seseorang telah menabrak kaki ibu hingga patah. Tetapi
untung kandungan ibu selamat, akhirnya ibu melahirkan bayi lucu, yaitu kamu.
Tetapi sayang, Tuhan hanya memberikanmu satu mata. Sebagai seorang ibu,
aku tak akan rela melihatmu tumbuh hanya dengan mata satu. Maka aku berikan
satu mataku kepadamu. Aku sangat bangga padamu yang telah melihat seluruh dunia
untukku, dengan mata itu.
Aku tak pernah marah atas semua kelakuanmu. Ketika kau marah padaku. Aku
hanya membatin menghibur diri sendiri, itu karena kau mencintaiku anakku!
Aku
langsung mati rasa dan raga, hatiku hancur, karena kesombongan dan kebodohanku
selama ini, malu memiliki ibu yang cacat.
Aku
menangis sejadi-jadinya, berteriak maminta maaf dan memeluk ibuku erat-erat.
Namun saying tubuh kecil dan kurus ibu hanya diam dan kaku dalam pelukanku.
Ternyata ibu sudah beberapa jam lalu meninggal dalam kesendiriannya dan terus
menggenggam rindu buatku si anak durhaka.